Pendidikan Tauhid Surah Al-Alaq 1-5 (Sebuah Tawaran)
Oleh: Abdurrochim Syamsu*
Tauhid merupakan inti dan fondamen dari ajaran Islam.
Konsepsi monotheisme yang bersumber pada ajaran (millah) Nabi Ibrahim
yang mengalami banyak distorsi dan reduksi dari ajaran Kristen dan Yahudi,
membuat kehadiran Islam sebagai agama terakhir menempati posisi yang sangat
sentral untuk memurnikan konsep monotheisme. Pendidikan tauhid sudah terkandung
secara jelas pada ayat yang pertama kali diturunkan oleh Allah kepada Nabi pada
malam 17 Ramadhan 610 M. Peristiwa tersebut meninggalkan seribu satu misteri
buat kita, diantaranya muncul pertanyaan kenapa harus surah Al-Alaq 1-5 yang
harus diturunkan pertama kali? Kenapa bukan surah al-Fatihah atau surah-surah
lainnya. Tentu banyak spekulasi mengenai hal tersebut, dan diantaranya
sebagaimana ditawarkan dalam tulisan ringkas berikut.
Nabi
SAW. pernah bersabda yang berbunyi: “Addabani Rabbi Fa Ahsana Ta’dibi”,
yang artinya kurang lebih: “Tuhan telah mendidikku dengan sebaik-baik
pendidikan”. Kita semua tahu bahwa Nabi adalah seorang yang ummi dalam arti tidak mampu baca-tulis secara
material. Akan tetapi Allah mendidik Rasul dalam universitas kehidupan, yang
sangat sedikit orang dapat lulus dari universitas ini. Allah bahkan sudah
mendidik Rasul sejak dilahirkan, di mana beliau sudah menjadi yatim, yang
beberapa tahun kemudian disusul oleh kemangkatan ibunya. Ini adalah semester
pertama pendidikan Allah kepada Nabi, yaitu untuk menumbuhkan kemandirian
eksistensial transenden dengan proses peyatiman. Pada semester kedua, Allah
melatih kemampuan manajerial, organisasi dan kepemimpinan Nabi pada proses
menggembalakan ternak pamannya Abu Thalib.
Menginjak semester ketiga, Allah mendidik semangat interpreneurship pada
Rasul melalui proses memperdagangkan
barang dagangan Siti Khadijah. Pada semester keempat, Allah melatih kepekaan
emosional, sikap bertanggung jawab, dan
latihan kepemimpinan pertama, melalui proses pernikahannya dengan Siti Khadijah
yang nota bene adalah seorang janda berusia 40 tahun. Pada semester kelima atau
semester terakhir, dalam diri Rasul muncul ketidakpuasan dan sikap kritis
terhadap fenomena kejahiliahan yang terjadi di kota Makkah ketika itu. Sehingga
muncul kegelisahan intelektual dalam diri Rasul, yang mengantarkan beliau pada
proses kontemplatif di gua Hira. Proses perenungan itu memakan waktu
berbulan-bulan, dan Rasul mengerahkan segenap daya fikir dan spiritualnya untuk
mencari solusi atas permasalahan tersebut. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah
di gua Hira ini adalah upaya keras yang melebihi upaya keras para sarjana untuk
mengerjakan skripsi, tesis, atau disertasi sekalipun!. Upaya Rasul ini
membuahkan hasil, dan beliau lulus magna cum laude dari pendidikan Allah dengan
anugerah gelar kenabian dan kerasulan, dengan ijazah Al-Qur’an, yang pertama
kali diwakili oleh surah Al-Alaq 1-5.
Menurut
penulis, sangat beralasan kalau Allah menurunkan surah Al-Alaq 1-5 sebagai
wahyu pertama, karena kelima ayat ini sangat sarat akan nilai-nilai fundamental
dan filosofis, baik secara ontologis, epistemologis maupun aksiologis. Kelima
ayat tersebut menyentuh tiga aspek utama dari kehidupan, yaitu Tuhan, manusia
dan alam, di mana ketika aspek ini juga
menjadi jiwa zaman dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia. Yaitu, pada era
Yunani kuno pola berfikir manusia yang polytheistik dan kosmosentris (berpusat
pada alam). Pada abad pertengahan, khususnya setelah perkembangan ajaran Yahudi
dan Kristen, pola berfikir manusia sangat theosentris (berpusat pada Tuhan).
Kedatangan Islam semakin membuat pola berfikir theosentris mengalami masa
puncaknya, yang dari Islam diwakili oleh Imam al-Ghazali (Ihya Ulumuddin),
dan diikuti oleh teolog Kristen, yaitu Thomas Aquinas (Summa Theologia).
Sejak era renaisans, subyek berfikir manusia terpusat pada manusia
(anthroposentris), dan hal tersebut masih terus berlangsung hingga kini di
Barat. Sedangkan surah Al-Alaq 1-5, konsep yang mengejawantah adalah konsep Ma’rifatu
al-Rabb, Ma’rifatu al-Insan dan Ma’rifatu al-Alam. Ketiga konsep
inilah inti pendidikan tauhid surah Al-Alaq 1-5.
Pada
ayat 1-3, “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dengan nama Tuhanmu yang Maha
Mulia”. Secara ontologis ayat-ayat ini akan membantah argumen terkenal Rene
Descartes “cogito ergo sum” (berfikir maka aku ada), atau barangkali
menjadi solusi konflik berkepanjangan antara kubu rasionalis dan empirisis. Karena konsep
“bacalah” (iqra) tidak hanya menjadi landasan proyeksi pengetahuan dalam
Islam. Akan tetapi juga menjadi proyeksi
filosofis, di mana dalam proses “membaca” tersebut, instrumen rasional dan
indriawi (empirik) bekerja secara integral. Dan memang dalam doktrin Islam
tidak ada dikotomi antara yang rasional dan yang empirik. Term rasional,
empirik dan intuitif biasa disentuh oleh al-Qur’an dengan term “sam’a wal
abshara wal af’idah” atau dalam term-term lainnya, yang sedari awal tidak
ada dikotomi konseptual di dalamnya. Sedangkan pada ayat 4-5, “Yang mengajar
manusia dengan pena (kalam), Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya”, terdapat isyarat epistemologis pada ayat ke empat, yaitu
pada term “kalam” yang bermakna sumber pengetahuan universal absolut.
Penjelasan mengenai “kalam” kembali di pertegas oleh Allah pada surah kedua
yang turun, yaitu surah Al-Qalam, di mana Allah membantah tuduhan orang-orang
kafir Quraisy, bahwa Nabi adalah seorang yang gila, karena Nabi sudah
mengetahui epistemologi wahyu Allah. Pada ayat kelima terdapat isyarat
aksiologis, bahwa kebenaran wahyu Allah harus diajarkan dan disebarkan, karena
kedatangan Islam sebagai rahmat Allah bagi seluruh seru sekalian alam (Rahmatan
lil Alamin).
Dalam
sirah nabawiyah diceritakan bahwa setelah wahyu pertama turun, terdapat masa
yang relatif lama, hingga turun wahyu yang kedua. Bahkan sampai-sampai Rasul
hampir menjatuhkan dirinya ke dalam jurang, karena keputusasaannya. Ini adalah
pertanda bahwa lima ayat pertama tersebut menjadi landasan penting dari tauhid,
dan butuh eksplorasi pemikiran secara mendalam, sehingga lahir kesadaran
eksistensial sebagai hamba Tuhan, dan kesadaran tersebut diproklamasikan dengan
dua kalimat syahadat. Barangkali tema-tema substansial yang terkandung dalam
lima ayat tersebut yang menjadi landasan konseptual pengakaderan Rasul terhadap
para “Assabiqunal Awwalun” di rumah al-Arqam bin Arqam. Sehingga membuat
sahabat-sahabat utama seperti Bilal Bin Rabbah, Ammar Bin Yasir, Mush’ab Bin
Umair dan lain-lain, memiliki keteguhan tauhid yang luar biasa, walaupun
disiksa secara kejam.
Tidak
dapat dipungkiri, bahwa surah Al-Alaq 1-5 juga turut menjadi landasan gerakan
perjuangan dakwah Islam, maka dari itu apa salahnya kita mencoba “Ittiba”
atas konsep pendidikan tauhid yang dilakukan Rasulullah kepada para
sahabat-sahabatnya. Karena pendidikan tauhid
menjadi sangat urgen untuk menjadi topik sentral dalam pendidikan Islam,
mengingat sangat derasnya arus globalisasi yang membawa nilai-nilai negatif,
dan menggerus sendi-sendi akidah generasi Muslim masa kini. Selain itu, saat
ini dalam dunia pemikiran Islam, khususnya di Indonesia, pendidikan tauhid
terlalu dipenuhi (overloaded) oleh unsur-unsur idiologis-sektarian. Baik
antara NU versus Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin (PKS), Salafi,
MMI dan lain-lain. Sehingga membuat pengajaran tauhid semakin kontraproduktif,
karena tidak menyentuh aspek yang substansial, seperti yang terkandung dalam
lima ayat pertama surah Al-Alaq. Barangkali tulisan ringkas ini terkesan
simplisistik dalam upaya mengelaborasi lima ayat pertama surah Al-Alaq, yang juga
disebut oleh DR. Hidayat Nataatmaja dari IPB Bandung sebagai landasan “aqidah
berfikir”. Akan tetapi hal ini dapat
dipertimbangkan sebagai tawaran lebih lanjut untuk dikembangkan ke dalam konstruk pemikiran yang lebih
sistematis. (Wa Allahu A’lamu bi Al-Shawwab) [Penulis adalah Dosen ane di STIS Hidayatullah Balikpapan]
Pendidikan Tauhid Surah Al-Alaq 1-5 (Sebuah Tawaran)
Reviewed by Cak Dul
on
21:47
Rating:

Tidak ada komentar:
Syukran telah berkunjung. Silahkan beri komentar membangun.