Arsiparis Dadakan
![]() |
| foto by unsplash |
BEBERAPA hari ini saya tenggelam dalam sebuah proyek. Kerjanya serius, tapi bisa dilakukan dari rumah. Orang sekarang menyebutnya remote job. Atau istilah kerennya, WFH.
Proyek saya ini, dalam dunia kerja, biasanya dikerjakan oleh seorang data analyst, atau data scientist. Tugas utama saya sederhana: menyusun dashboard laporan perkembangan dan pencapaian. Organisasi tingkat wilayah yang mempekerjakan saya meminta dashboard ini bersifat real-time. Bisa menampilkan visual hasil kerja mereka selama satu periode berjalan.
Saat penjajakan awal, saya pikir ini bakal mudah. Toh saya punya sedikit kemampuan di bidang itu, walhamdulillah. Meski tentu saja, saya tidak bisa disebut sebagai ahli betulan.
Nyatanya, pekerjaan ini tidak sesederhana yang saya bayangkan. Sebab, ternyata saya tidak hanya berperan sebagai analis data. Saya juga harus jadi arsiparis. Dua job sekaligus. Tapi bayaran? Ya, cuma satu job. Hadeuh.
Di Indonesia, terutama di instansi pemrintah, ada jabatan resmi untuk ini. Namanya arsiparis ahli pertama. Mereka bertugas memastikan data dan arsip tersusun rapi, mudah dilacak, dan bisa dipertanggungjawabkan. Dalam proyek ini, bagian inilah yang membuat saya lumayan kewalahan.
Bayangkan, saya harus mengolah data Excel lintas departemen dari periode 2021–2025. Semua file berasal dari organisasi yang sama. Tapi gaya pengelolaannya berbeda-beda. Tidak ada standar baku.
Pertama, variabelnya tidak konsisten. Tahun 2020, misalnya, di sebuah departemen, ada variabel bernama “tempat”. Tahun berikutnya hilang. Kadang diganti istilah lain. Akibatnya, ketika mau membandingkan data antar-tahun, hasilnya tidak bisa langsung disatukan.
Kedua, format antar-file juga beda-beda. Ada yang menuliskan angka sebagai teks. Ada yang mencampur beberapa data dalam satu sel. Bahkan, dalam departemen yang sama, file tahun 2021 dan 2022 bisa jauh berbeda. Menggabungkannya butuh transformasi manual. Ribet sekali.
Ketiga, metadata minim. Tidak semua file mencantumkan periode kerja. Nama sheet dan kolom kadang asal-asalan. Akhirnya, saya harus menebak-nebak. Apakah data itu memang mewakili tahun tertentu, atau jangan-jangan salah tempat.
Keempat, beban interpretasi jatuh ke analis. Padahal, semestinya data sudah rapi sejak awal. Waktu yang mestinya dipakai untuk membangun insight dan visualisasi, justru habis untuk membereskan data.
Pengalaman ini menyadarkan saya satu hal: pentingnya peran arsiparis dalam sebuah organisasi. Baik sebagai jabatan struktural, maupun sebagai kesadaran fungsional dalam diri setiap penanggung jawab departemen dan bidang.
Arsiparis bukan sekadar tukang simpan dokumen. Mereka memastikan proses penciptaan data dilakukan dengan standar yang jelas, konsisten, dan bisa dipakai siapa saja.
Kalau sejak awal setiap departemen punya kesadaran arsiparis, maka variabel akan seragam, metadata lengkap, format konsisten. Hasilnya, data bisa langsung diolah tanpa tahapan panjang perapihan ulang.
Kesadaran arsiparis menjadikan data bukan sekadar angka berantakan. Tapi informasi strategis untuk pengambilan keputusan. Karena itu, selain menyediakan analis data, organisasi juga perlu menegaskan peran arsiparis di tiap lini.
Dengan begitu, data yang ada selalu siap pakai. Untuk evaluasi jangka pendek, maupun strategi jangka panjang.
Tapi, ya, sudahlah. Semoga di periode depan, jika saya dapat tawaran yang sama, saya bisa dibayar untuk dua peran tersebut.
Reviewed by Cak Dul
on
11:45
Rating:


Tidak ada komentar:
Syukran telah berkunjung. Silahkan beri komentar membangun.