Jodoh dan Kafaah dalam Pernikahan


A.    Pendahuluan
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan ini terlihat dengan meninggalnya Nabi akhir zaman, Muhammad SAW. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا (٣)
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Diangkatnya Nabi Muhammad SAW. oleh Allah SWT. menandakan berakhirnya tugas beliau dalam menyebarkan agama ini dan itu berarti pula agama ini telah dibawakan secara sempurna oleh beliau. Sehingga tidak ada satu hukum dan ketentuan dalam dien ini yang belum tersampaikan, secara  tersirat ataupun tersurat.
Demikian pula halnya dengan hukum pernikahan. Perkara yang merupakan bagian dari kesempurnaan agama seorang muslim ini telah ditetapkan hukumnya oleh Allah dan Rasul-Nya. Hadits menganjurkan seorang muslim untuk menikah. Dan al-Qur’an menganjurkan untuk menikahi wanita yang baik-baik.
Sehingga secara langsung dan tidak langsung masalah jodoh dan kafaah telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah dan kaitannya sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an dan Sunnah tidak perlu lagi disangsikan untuk diikuti. Sebab demikianlah pesan Rasulullah SAW. menjelang kematian beliau.


B.     Jodoh dalam Islam

1.      Pengertian dan Hakikat Jodoh
Jodoh dalam keseharian adalah kata yang sering terdengar dan terucap.  Sehingga sangat familiar  Secara bahasa memiliki banyak arti; orang yang cocok sebagai pasangan hidup, sesuatu yang cocok sehingga selalu sepasang, dan/atau pasangan.
Jauh sebelum diciptakannya jagad raya (menurut perkiraan sekitar 20.000.000.000  tahun yang lalu), Allah telah berkehendak men-design, dan merencanakan apa yang telah, sekarang dan akan terjadi, secara terperincian tidak sebesar atom pun yang luput dari perhitungan dan kontrol dari-Nya.
Sebagaimana hadits Abdullah bin Amr ra., dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Allah telah menetapkan takdir sebelum menciptakan langit dan bumi sejak 50.000 tahun.’” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, Abu Isa berkata: “Hadits ini Hasan Shahih Gharib.”)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa semuanya telah direncanakan dan di-design oleh Allah SWT. apa-apa yang telah, sedang dan akan terjadi di muka bumi ini, termasuk di dalamnya pertemuan dengan jodoh; pasangan dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Sehingga bila dipahami hakikat dari penciptaan manusia dalam kaitannya dengan jodoh, maka setelah berupaya dan berusaha menginginkan sesuatu secara maksimal hendaknya diserahkan urusan yang belum terjadi tersebut kepada Allah Yang Maha Tahu segala urusan.
Memiliki jodoh yang ideal adalah salah satu kunci surga kebahagiaan yang didambakan setiap orang. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Hal-hal yang termasuk kunci kebahagiaan manusia adalah; istri yang shalihah, ...” (HR. Hakim dari Sa’ad bin Abi Waqqash)
Berjodoh adalah sunnatullah. Allah SWT. telah menetapkan segala sesuatu yang ada di permukaan bumi ini dalam keadaan berpasangan. Sehingga seorang manusia tidak perlu khawatir untuk tidak memiliki pasangan. Sebab Allah telah menetapkan pasangannya di Lauh Mahfudz.
Tetapi perlu dipahami bahwa jodoh tidak datang dengan sendirinya. Jodoh perlu dijemput kedatangannya, yakni mencari dengan sungguh-sungguh. Seperti halnya rezeki hanya diberikan kepada orang yang aktif bergerak.

2.      Memilih Jodoh untuk Menikah
Memilih calon pasangan penting sebab dari proses inilah akan menentukan sukses tidaknya bahtera rumah tangga sampai kepada tujuannya. Oleh sebab itu, perlu diperhatikan beberapa hal penting dalam memilih calon pasangan hidup.
a.       Teliti Sebelum Memilih
Islam menganjurkan bagi yang hendak menikah untuk bersungguh-sungguh, berhati-hati, teliti, penuh pertimbangan dan tidak asal dalam memilih pasangan hidup demi meminimalkan segala penyesalan yang mungkin timbul.
Rasulullah SAW. bersabda, “Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya juga dianggap serius; nikah, talak, dan rujuk.” (HR. al-Arba’ah kecuali an-Nasa-i)
b.      Ketentuan Memilih Calon Istri
1)        Baik Agamanya
Berdasarkan hadits Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW. bahwasanya beliau bersabda, “Wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah yang bagus agamanya; (sebab kalau tidak) niscaya kamu celaka.” (HR. Muslim)


2)                  Wanita yang Subur dan Penyayang
Dalilnya adalah hadits Ma’qil bin Yasar ra., bahwasanya Nabi SAW. bersabda, “Nikahilah wanita yang penyayang lagi subur. Sungguh, aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat yang lain.” (HR. Abu Dawud)
3)                  Sayang Kepada Anak dan Perhatian Kepada Suami
Dasarnya adalah hadits dari Abu Hurairah ra., dari Nabi SAW., beliau bersabda, “Sebaik-baik wanita yang menunggang kuda adalah wanita-wanita yang dari suku Quraisy, mereka adalah wanita yang paling sayang kepada anaknya sewaktu masih kecil dan paling menjaga harta suami.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4)                  Cari yang Masih Perawan
Berdasarkan sabda Nabi SAW., “Menikahlah dengan wanita-wanita yang masih gadis (perawan); karena mereka lebih mampu menjaga perkataan, anak yang mereka lahirkan lebih banyak, dan mereka lebih dapat meridhai pemberian yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah)
5)                  Memilih yang Dekat Usianya
Berdasarkan hadits dari Buraidah ra., dia bercerita, “Suatu ketika, Abu Bakar ra. dan Umar ra. datang meminang Fatimah ra. Rasulullah SAW. menjawab, ‘Dia masih kecil.’ Tidak lama kemudian, Ali ra. datang meminangnya, dan Rasulullah SAW. pun menikahkan Fatimah ra. dengannya.” (HR. an-Nasa-i)
Meskipun demikian, tidak boleh menjadikan faktor usia sebagai penghalang untuk menikah jika hal itu sulit untuk diterapkan. Dalam hal ini, pertimbangan kemashlahatan harus lebih dikedepankan. Lebih lanjut, tidak ada larangan untuk menikahkan wanita yang masih kecil dengan pria dewasa.
6)                  Wanita yang Paling Baik Menurut Rasulullah
Dari Abu Hurairah ra., dia berkata, “Rasulullah SAW. pernah ditanya, ‘Wanita seperti apakah yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Wanita yang menyenangkan suaminya jika dipandang, yang mentaati suaminya jika diperintah, dan yang tidak melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh suaminya terkait diri dan harta wanita tersebut.” (HR. Bukhari)
c.       Ketentuan Memilih Calon Suami
1)      Taat Beragama dan Berakhlak
Dalam surat al-Baqarah ayat 221 Allah menegaskan:
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu."
Juga hadits dari Abu Hurairah ra., dia berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, “Jika seorang laki-laki yang kalian ridhai akhlaknya dan agamanya datang untuk meminang, maka nikahkanlah ia. Jika tidak, maka niscaya akan terjadi fitnah (kerusakan) di muka bumi dan kerusakan yang meluas.”  (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
2)      Hafal Beberapa Bagian dari al-Qur’an
Rasulullah SAW. pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar hafalan al-Qur’an yang dimilikinya.
3)      Ia Mampu Memberikan Nafkah Lahir dan Bathin.
Yaitu mampu untuk bersetubuh dan mampu untuk membiayai pernikahan serta berbagai kebutuhan hidup nantinya.
4)      Lembut Terhadap Wanita.
Rasulullah pernah bersabda tentang Abu Jahm, “Adapun dia adalah laki-laki yang tidak meletakkan tongkat pada pundaknya. Tetapi nikahilah Usamah.”
5)      Sekufu Dengan Wanita.
Yakni memiliki kesepadanan dan kesamaan dengan wanita. Ini mencakup beberapa hal yang akan dibahas pada bab selanjutnya.

C.    Kafaah dalam Pernikahan

1.      Pengertian Kafaah
Dalam memilih pasangan untuk menikah hendaknya ada kesetaraan antara calon suami dan  calon istri. Dalam Fiqh, kesetaraan disebut Kafaah. Kafaah penting diperhatikan sebab akan mempengaruhi keselamatan, kerukunan, ketentraman, kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga.
Kafaah secara bahasa adalah persamaan dan keserupaan. Orang yang serupa dan sepadan disebut se-kufu. Sedang menurut syari’ah adalah kesetaraan di antara suami istri untuk menolak aib dalam perkara-perkara khusus.


2.      Hukum Kafaah di dalam Pernikahan
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafaah dalam pernikahan sama sekali tidak diperhitungkan. Dia berkata, “Laki-laki muslim mana saja, selama bukan pezina, memiliki hak untuk menikah dengan perempuan muslim mana saja, selama bukan pezina.” Beliau juga menambahkan, “Setiap muslim adalah bersaudara. Sehingga tidaklah haram seorang laki-laki Negro yang tidak diketahui asal-usulnya menikahi putri khalifah dari bani Hasyim. Dalilnya adalah firman Allah SWT., Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.’ (al-Hujurat : 10) Dan firman Allah SWT. yang ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, ‘... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi...’.
Tetapi, al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, “Penilaian al-kafaah dalam agama disepakati. Maka pada dasarnya, muslimah tidak halal bagi orang kafir.” Dan banyak ayat al-Qur’an dan juga hadits Nabi SAW. yang mengisyaratkan pertimbangan agama sebagai dasar kafaah.
Dan menurut para ulama, al-kafaah bukan syarat sah sebuah pernikahan, kecuali seperti apa yang tercantum dalam an-Nuur ayat 3. Sebab persoalannya terletak pada kerelaan wanita dan wali perihal kedudukan, nasab, harta dan lain-lain.
Dan yang paling shahih adalah kafaah –secara umum– bukanlah syarat sahnya pernikahan.
3.      Kriteria Parameter Kafaah dalam Pernikahan
Para Imam mazhab berbeda pendapat tentang kriteria kesetaraan dalam pernikahan. Seperti terlihat pada tabel berikut:
Masalah
Hanafi
Syafi’i
Maliki
Hanbali
Konsep Kafaah dalam Pernikahan Menurut Empat Mazhab
Agama, Nasab, Pekerjaan, Merdeka, Bebas dari Cacat, Kekayaan, Usia
Agama, Nasab, Pekerjaan, Merdeka, Bebas dari Cacat (fisik dan mental), Kekayaan, Usia
Agama
Ada dua pendapat;
Pertama seperti pendapat Syafi’i,
Kedua, Menekankan pada Agama dan Pekerjaan
    
Dengan menggabungkan kriteria kafaah dari hadits-hadits shahih dan pendapat para Imam mazhab di atas, maka kesetaraan itu dapat dirinci sebagai berikut:
a.  Agama, dan termasuk pula akhlak dan keistiqomahan, dan inilah yang paling utama. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”
Dan sabda Nabi, “Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkanlah.” (HR. at-Tirmidzi, dari Abu Hatim al-Muzani)
b.    Nasab. Pertimbangan dalam hal ini penting. Sebab, dengan nasab yang baik dan mulia, maka akan lahir pula keturunan yang baik dan mulia. Dan ini terbukti dengan banyaknya orang-orang besar dan terhormat lahir dari keluarga terhormat.
c.    Merdeka. Sehingga budak laki-laki tidak sekufu dengan perempuan yang merdeka. Budak laki-laki yang telah dimerdekakan tidak sekufu dengan perempuan yang sejak awal telah merdeka.
d.  Bebas dari Cacat Fisik dan Mental. Bersih dari cacat bukanlah syarat kafaah. Tidak diperselisihkan bahwa pernikahan tidak batal tanpanya. Tetapi, sang perempuan memiliki khiyar, tanpa para wali, karena kerugian yang ditimbulkan hanya menimpanya. Dan walinya boleh melarangnya untuk menikah dengan penderita kusta, penderita lepra, dan orang gila.
e.    Pekerjaan. Apabila seorang perempuan berasal dari keluarga yang memiliki pekerjaan mulia maka laki-laki yang memiliki pekerjaan hina adalah tidak sekufu dengannya. Dan apabila pekerjaan mereka berdekatan, maka perbedaanya tidak diperhitungkan. Tetapi kemuliaan dan kehinaan suatu pekerjaan diukur berdasarkan ‘urf.
f.        Harta. Kaitannya disini adalah kesanggupan memberi nafkah. Sebab Rasulullah SAW. pernah menganjurkan untuk mempertimbangkan kekayaan pada kisah pelamaran Fatimah binti Qais. Dalam riwayat dari Bukhari dan Muslim itu dikatakan Fatimah dilamar oleh dua orang; Mu’awiyah dan Abul Jahm. Rasul lalu berkata, “Adapun Mu’awiyah adalah orang fakir, ia tidak mempunyai harta. Adapun Abul Jahm, ia tidak pernah memikul tongkat di pundaknya.”
g.   Usia. Faktor usia perlu dipertimbangkan sebab pengaruhnya yang besar terhadap kesiapan mental dan psikologis bagi calon istri, khususnya.


4.      Hal-hal Lain Terkait Kafaah
1.      Waktu Pengukuran Kafaah
Kafaah dihitung ketika pelaksanaan akad. Apabila salah satu dari unsur kafaah hilang setelah akad, maka hal itu tidak berpengaruh, tidak mengubah realitas sedikit pun, dan tidak merusak akad pernikahan sebab syarat-syarat pernikahan hanya berlaku ketika akad.
2.      Pihak yang Berhak Atas Kafaah
Jumhur fuqaha’ berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi perempuan dan para walinya. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang perempuan dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya, kecuali atas ridhanya dan ridha para wali lainnya. Ini ditetapkan demi memelihara hak mereka. Apabila mereka telah ridha, maka larangan telah hilang.
3.      Pihak yang Berlaku Atasnya Kafaah
Kafaah dalam pernikahan berlaku atas suami, sedang bagi istri itu tidak berlaku. Maksudnya bahwa laki-lakilah yang disyaratkan agar sekufu dengan perempuan. Sedang perempuan tidak disyaratkan sekufu dengan laki-laki.
Secara logika memang demikianlah. Sebab Rasulullah SAW. Tidak memiliki padanan dalam hal kedudukan. Tetapi beliau menikah para perempuan dari kampung-kampung Arab. Beliau juga menikah dengan Shafiyyah binti Huyai yang sebelumnya Yahudi.

D.    Penutup

1.      Kesimpulan
a.   Bahwa permasalahn jodoh dalam Islam adalah masalah takdir. Sehingga menyikapinya harus dengan benar. Agar tidak terjemus kepada kesesatan, sebagaimana mereka yang menyalahartikan ketentuan-ketentuan Allah. Tetapi mencari jodoh adalah disyariatkan. Setelah mencari dan berdoa barulah menyerahkan hasilnya kepada Allah SWT.
b.       Sebelum melakukan pernikahan, seorang muslim hendaknya memperhatikan apa-apa yang harus diperhatikan dalam memilih pasangan. Dan hendaknya mencari pasangan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
c.       Kafaah dalam pernikahan tidak menjadi syarat utama. Akan tetapi hendaknya kafaah dalam hal agama menjadi pertimbangan utama sebelum melakukan pernikahan.
d.      Kriteria lain dari pertimbangan kafaah adalah hak wanita dan walinya. Sehingga masalah kafaah adalah kerelaan dari pihak wanita.
e.       Kafaah hanya berlaku untuk laki-laki saja. Perempuan tidak dianjurkan sekufu dengan laki-laki, tetapi laki-lakilah yang dianjurkan sekufu dengan perempuan.
2.      Saran
a.    Terselesaikannya makalah ini tidak menjamin kesempurnaannya. Oleh karena itu, bila ditemukan kesalahan dan kekurangan pada makalah ini, kiranya memberitahukan kepada penulis. Sebagai bentuk masukan dan kritikan yang membangun.
b.    Kepada seluruh rekan-rekan mahasiswa Angk. VI (Generasi Biru) agar tetap semangat belajar dan bersungguh-sungguh mengkaji seputar hukum Islam dan selalu memberikan sumbangsih untuk menyelesaikan problematika umat hari ini dan ke depan.



Referensi

Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
Menikah untuk Bahagia by Gus Arifin, 
Ensiklopedi Fiqih Praktis by Syaikh Husain bin ‘Audah al-‘Awaisyah
Al-Qur’an dan Terjemahnya DEPAG RI
Shahih Fiqih Sunnah by Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim
Fiqhus Sunnah by Sayyid Sabiq
Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z” by Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq
Jodoh dan Kafaah dalam Pernikahan Jodoh dan Kafaah dalam Pernikahan Reviewed by Cak Dul on 21:42 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Syukran telah berkunjung. Silahkan beri komentar membangun.

ads
Diberdayakan oleh Blogger.