Sandal Tai

Maghrib tadi (12/9/25), saat menemani anak-anak mengaji, saya mendapati sebuah laporan persitiwa tentang seorang anak. Laporannya datang bukan langsung dari mulut si anak, tapi dari ibunya.

Kisahnya sederhana. 


Kisah bermula ketika sang anak datang ke masjid, hendak melaksanakan shalat Ashar. Dari kejauhan, ia melihat banyak teman lain duduk berkerumun di beranda masjid. Mereka asyik bercengkerama, sebagian bermain, sebagian lagi dengan gawai. 


Namun, anak ini memilih melangkah masuk. Ia bergabung dengan jamaah dewasa, bersama satu anak lain yang ikut dari kerumunan tadi. Menurut pengakuannya, hanya mereka berdua yang akhirnya ikut shalat berjamaah.


Usai shalat, ketika hendak pulang, ia mendapati sandalnya sudah dilumuri kotoran ayam. Ketika "jebakan" itu akhirnya menjerat si anak, beberapa anak dari kerumunan itu kompak tertawa. Sambil membersihkan kaki dan sandalnya, dalam hati ia ingin tahu siapa pelakunya. Tapi tentu saja tak ada yang akan mengaku.


Mendengar cerita itu, dada saya terasa sesak. Ada haru, ada doa, untuk semua anak-anak itu. Baik yang memilih shalat, maupun yang masih betah bermain di luar.


Fenomena kecil ini sesungguhnya menggambarkan dunia anak-anak usia sekolah dasar. Mereka sudah mulai tahu mana yang benar, mana yang salah. Namun, sering kali komitmen itu kalah oleh pengaruh teman sebaya. Kesenangan sesaat terasa lebih menggoda daripada disiplin ibadah.


Anak yang memilih shalat berjamaah sebenarnya menunjukkan keberanian moral. Ia berani melawan arus mayoritas. Ia mengikuti fitrah yang sedang tumbuh. Sementara teman-temannya masih asyik dengan dunianya. Bagi mereka, menunda shalat terasa lebih seru ketimbang masuk masjid.


Lalu, bagaimana dengan sandal yang dikotori kotoran ayam? Mungkin tampak sepele. Tapi dari sisi psikologi anak, ini bisa jadi cara mencari perhatian. Bisa juga bentuk iseng untuk menertawakan pilihan berbeda. Sebuah cara untuk merasa kompak dengan kelompoknya.


Bagi anak yang taat, pengalaman seperti ini bisa menimbulkan rasa minder. Bahkan muncul pertanyaan: “Apakah saya salah karena memilih shalat?” Di sinilah tugas kita, para orang tua dan pendidik. Kita perlu menguatkan hatinya. Meneguhkan bahwa ia tidak sendirian. Bahwa Allah lebih bangga padanya dibanding kerumunan yang lalai.


Adapun anak-anak yang masih asyik bermain, mereka tak bisa langsung dicap nakal. Mereka hanya butuh arahan. Mereka butuh contoh nyata. Mereka butuh ruang untuk merasakan nikmatnya berjamaah. Memberi peran kecil seperti adzan, iqamah, atau membersihkan area masjid, bisa menjadi pintu kedekatan mereka dengan masjid.


Akhirnya, kisah sandal ini menjadi cermin untuk kita semua. Mendidik anak bukan hanya memberi tahu, tapi membiasakan. Bukan sekadar menasihati, tapi mencontohkan. Dan bukan menghakimi, melainkan merangkul dengan sabar.


Semoga anak-anak kita tumbuh menjadi generasi yang berani menegakkan kebenaran, sekalipun sendirian. Dan semoga kita, para orang tua, diberi ketabahan dan hikmah untuk menuntun mereka dengan penuh kasih.

Sandal Tai Sandal Tai Reviewed by Cak Dul on 21:22 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Syukran telah berkunjung. Silahkan beri komentar membangun.

ads
Diberdayakan oleh Blogger.