Tawar-Menawar dengan Janda Penjaja Sayur
Sebelumnya, istri
saya adalah wanita biasa-biasa saja. Dari keluarga sederhana. Bukan keturunan
istana. Ayahnya, seorang petani biasa. Ibunya, seorang ibu yang kadang membantu
suaminya di ladang di sela kesibukan dapurnya. Tidak ada yang bisa dibanggakan,
sebetulnya, menurut pengakuannya.
Tapi, itu dulu.
Sekarang, ketika
sah menjadi istri saya, ia menjadi wanita luar biasa. Bukan lagi wanita biasa-biasa
saja. Ia seperti iklan salah satu produk deterjen; bertenaga 12 tangan. Itu berarti
setara dengan tangan 6 orang biasa.
Pagi-pagi,
sebelum saya sampai di rumah, ketika saya masih di masjid, ia sudah berada di
belakang. Merendam, mengucek dan membilas setumpuk pakaian, mencuci
piring dan perkakas makan lainnya, menanak nasi, menyapu dan mengepel lantai,
hampir dilakukan dalam satu waktu. Setelah itu, ia membangunkan, memandikan, dan
memakaikan pakaian 2 batita kami. Dalam sekejap, keduanya sudah wangi. Benar-benar
seperti tenaga 12 tangan.
Maka, saya
benar-benar beruntung memilikinya. Ia benar-benar wanita luar biasa. Hari masih
pagi, ia sudah menyelesaikan banyak pekerjaan rumah seorang diri.
Karenanya,
beberapa pekerjaan harus saya yang mengambil alih. Bagi-bagi tugas, tepatnya. Misalnya,
seperti, membeli sayur dan lauk-pauk di warung bukan kaki lima. Walau ia juga
bisa pergi membelinya, tapi saya tidak mungkin membiarkannya. Saya tahu, walau
ia bertenaga 12 tangan, ia tetaplah manusia. Biarlah, urusan keluar, saya yang
melakoninya.
***
Hari ini,
sepulang dari pengajian, ia bercerita. Tersebutlah seorang ibu, rekan
sepengajiannya, yang agak iri dengan saya. Sebabnya, suami si ibu tersebut,
suka malu kalau keluar membeli sayur-mayur seorang diri.
“Kadang, sih, ia
pergi setelah saya agak merajuk. Tapi, kembali dengan tangan kosong,” katanya
mengisahkan.
"Lah, kok begitu, bu?" tanya istri saya penasaran.
"Bilangnya, 'malu, ah, Mi.
Banyak ibu-ibu, di sana',” katanya menirukan penjelasan suaminya.
Memang, saya
jarang mendapati lelaki lain membeli sayur di langganan sayur saya. Yang banyak,
dan memang kebanyakannya demikian, para suami tersebut hanya sebatas mengantar para
istri. Ia tetap bergeming di atas motornya, sambil menonton riuh rendah
tawar-menawar sayur-mayur.
Dan saya,
mungkin, satu-satunya lelaki yang ada di jubelan ibu-ibu tersebut. Memang ada
sedikit malu, pada awalnya. Tapi, lama-kelamaan, saya enjoy. Cuek aja dengan
tatapan “gimana gitu” dari ibu-ibu kiri-kanan saya. Saya, dengan pakaian yang
sama dengan yang digunakan shalat subuh, tampil PD dan masa bodoh.
Salah satu alasan
mengaa saya harus melakukan itu adalah berbagi tugas. Biarlah urusan keluar
mencari isi dapur menjadi tugas saya. Tidak mungkin istri saya mengambil semua
pekerjaan rumah. Bukankah nabi shallallahu ‘alayhi wasallam juga membantu
istinya di dapur? Bahkan, dalam sebuah riwayat, urusan menjahit baju yang robek
saja, beliau -shallallahu ‘alayhi wasallam-sendiri yang mengatasi. Padahal, kita
tahu, bagaimana sibuknya beliau dengan dakwah. Tapi tetap berbagi peran dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah.
Rupanya, apa yang
saya lakukan dengan membantu istri belanja isi dapur menjadi bahan ‘iri’ dari
orang lain. Rupanya, banyak suami yang enggan dan mengaggap pekerjaan membeli
kebutuhan dapur itu tugas istri seorang. Rupanya, itulah mengapa, jarang lelaki
didapati melakukan tawar-menawar dengan janda penjaja sayur.
Tawar-Menawar dengan Janda Penjaja Sayur
Reviewed by Cak Dul
on
16:28
Rating:
Reviewed by Cak Dul
on
16:28
Rating:


Tidak ada komentar:
Syukran telah berkunjung. Silahkan beri komentar membangun.