Tahun Baru Bagi Kita
Tiga ratus enam puluh lima hari dari 2024 baru saja meninggalkan kita. Dalam menyambut peralihan ke 2025 ini, sebagian dari kita mungkin ikut larut dalam euforia berlebihan. Kita merayakannya, menyambutnya dengan antusias, lalu membuat berbagai rencana dan resolusi.
Atau jika tidak, paling minimalnya, suasana hati kita ikut "terjebak" dengan euforia tahun baru yang ada -sebagaimana doa dan harapan kita untuk tahun depan di status-status whatsapp kita. Memang, tidak ada yang sepenuhnya salah dalam hal ini. Namun, ada hal lain yang lebih penting dari sekedar pergantian waktu.
Islam mengajarkan kita, bahwa pergantian tahun sejatinya tidak berbeda dengan pergantian bulan. Juga pergantian pekan. Demikian pula pergantian hari, jam, menit, dan bahkan detik sekalipun. Semua satuan waktu tersebut, dengan segala putaran siklusnya, tidaklah berarti apa-apa jika kita hanya fokus pada pergantiannya.
Imam Hasan al-Bashri sebagaimana dikutip dari Hilyatul Auliya, mengatakan,
يا ابن آدم، إنما أنت أيام، كلما ذهب يوم ذهب بعضك
"Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari-hari; setiap kali satu hari berlalu, maka sebagian dari dirimu ikut pergi."
Pesan ulama dari masa Tabi'in tersebut, sebagaimana juga pesan senada yang tercatat dalam Sifatush Shafwah ketika Rabi'ah -guru Imam Malik- memberi nasehat soal waktu kepada Sufyan ats-Tsauri, memberikan gambaran kepada kita bahwa yang penting dari waktu dan siklus pergantiannya adalah tentang pemanfaatannya.
Pergantian waktu, dalam bentuk apa pun, adalah bagian dari siklus kehidupan yang terus bergerak. Oleh karena itu, sikap yang paling bijak adalah menjadikannya momen untuk muhasabah; melakukan evaluasi, dan membuat refleksi. Evaluasi dan refleksi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan besar soal waktu, yaitu: dengan apa dan bagaimana kita menghabiskan dan memanfaatkan waktu yang telah berlalu.
Jika pada akhirnya jawaban dari pertanyaan tersebut mengarah pada penyia-nyiaan waktu bersebab tidak termanfaatkan untuk kebaikan-kebaikan, maka quote Ibnul Qayyim al-Jauziyyah perlu kita hadirkan di sini. Dalam al-Fawaid-nya, beliau mengatakan:
إضاعة الوقت أشد من الموت؛ لأن إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموت يقطعك عن الدنيا وأهلها
Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya daripada kematian; karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari Allah dan negeri akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.
Masih dalam al-Fawaid-nya tersebut, beliau juga menyebutkan bahwa menyia-nyiakan waktu adalah salah satu hukuman dari sekian banyak hukuman dari Allah, atas dosa-dosa kita. Masih menurut beliau, sebagaimana dalam Risalah Ibnil Qayyim ila Ahadi Ikhwanih, bahwa semua bencana yang menimpa seorang hamba maka sebabnya adalah menyia-nyiakan waktu dan rusaknya hati.
Dan sederet penjelasan ulama lainnya, yang tidak dapat kita sebutkan satu-persatu, menekankan prinsip soal waktu tersebut. Bahwa, yang paling penting dari waktu bukanlah menanti pergantiannya sembari mengharap ada nasib yang lebih baik. Tapi yang paling penting adalah memanfaatkan waktu yang akan segera datang di hadapan kita, yang lebih baik daripada pemanfaatan kita atas waktu yang baru saja lewat.
Ada rahasia besar ketika Allah banyak bersumpah dengan waktu -di mana hanya Dia yang boleh bersumpah dengan nama makhluk-Nya sendiri. Mulai dari wal-fajr, wad-dhuha, wan-nahar, wal-lail, dan pamungkasnya wal-ashr. Sumpah Allah atas sebagian satuan waktu tersebut, menunjukkan bahwa waktu adalah sebuah aset yang paling berharga bagi manusia.
Sebab, kata Syaikh Abdul Aziz bin Baz, "al-waktu huwa-l-hayah." Bahwa, waktu itu adalah kehidupan itu sendiri. Dan ketika Allah bersumpah atas nama 'ashr' sebagai satuan terbesar dari satuan waktu-waktu, Allah juga menyandingkannya dengan sifat orang-orang yang sungguh benar-benar berada dalam kerugian. Yang memberi pengertian, bahwa bersebab waktu, kebanyakan orang akhirnya menjadi rugi dalam hidupnya.
Setelah kita menjawab pertanyaan besar tersebut di atas, seharusnya muncul kesadaran tentang pentingnya memanfaatkan waktu. Dan kesadaran itu akan berguna, ketika dia melahirkan tindakan nyata. Dimulai dari mendisiplinkan diri pada hal-hal kecil yang sederhana. Juga pada hal-hal yang telah menjadi jati diri. Dimulai dari diri sendiri, baru bicara pada yang lainnya.
Ada begitu banyak opsi yang bisa kita lakukan dalam memanfaatkan waktu. Tetapi, waktu begitu sangat kurang jika harus melakukan semuanya. Maka yang terbaik adalah memilih yang bisa dan mampu dilakukan, untuk kemudian kita istiqomahkan. Sebagaimana pesan Nabi, "Amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling kontinyu meski sedikit dalam kuantiti."
Jangan begitu banyak rencana dan resolusi yang kita buat, tanpa memperhatikan kemampuan kita untuk bisa kontinyu dalam menjalankannya, hingga akhirnya kita malah menjadi bahan resolusi si Bungsu -sebagaimana anekdot yang viral- yang mengatakan, "Resolusiku adalah melihat kegagalan resolusi Bapak, Ibu, dan Kakak." Sebab, kita hanya bisa berencana yang banyak, tanpa memikirkan keistiqomahannya.
Akhirnya, good bye 2024. Dan, marhaban 2025. Semoga Allah membantu kita untuk memanfaatkan waktu yang Dia berikan kepada kita.

Tidak ada komentar:
Syukran telah berkunjung. Silahkan beri komentar membangun.