Menolak Menjadi Penulis
Meyakinkan orang lain untuk melakukan suatu hal itu susah-susah gampang, dan gampang-gampang susah. Gampangnya, karena karena kita hanya modal ngomong saja ke dia. Susahnya, karena ia butuh penjelasan lebih dengan sederet pertanyaan balik lainnya.
.
Sore ini, misalnya. Saya mencoba meyakinkan seorang kawan lama yang kini tinggal jauh di sana. Saya sebut kawan lama, karena ia dulunya murid saya. Setelah lulus sekolah menengah atas dan melanjutkan kuliah di sebuah kota, hubungan kami bukan lagi guru-siswa. Dan sekarang, dengan sendirinya, statusnya menjadi kawan saya. Setidaknya begitu saya menganggapnya.
.
Kawan saya itu, saya ajak dia untuk (mulai) menulis. Seperti halnya saya juga mulai (kembali) rajin menulis. Dulunya, jauh sebelum mengenal dunia blog, saya memang agak rajin menulis.
.
Sore ini, misalnya. Saya mencoba meyakinkan seorang kawan lama yang kini tinggal jauh di sana. Saya sebut kawan lama, karena ia dulunya murid saya. Setelah lulus sekolah menengah atas dan melanjutkan kuliah di sebuah kota, hubungan kami bukan lagi guru-siswa. Dan sekarang, dengan sendirinya, statusnya menjadi kawan saya. Setidaknya begitu saya menganggapnya.
.
Kawan saya itu, saya ajak dia untuk (mulai) menulis. Seperti halnya saya juga mulai (kembali) rajin menulis. Dulunya, jauh sebelum mengenal dunia blog, saya memang agak rajin menulis.
.
Saya tipikal anak yang agak kurang pandai bergaul abis. Tapi saya punya satu kawan manis. Namanya Diary, teman saya banyak memperdengarkan my curhats. Dialah tempat saya banyak berbagi cerita dengan menulis.
.
Agar saya lebih rajin menulis lagi, saya ingin menularkan virus rajin ini juga kepada orang lain. Lebih khusus kepada orang-orang sekitar saya. Sebagai langkah awal, saya ajaklah salah seorang murid yang kini jadi kawan saya itu untuk mulai menulis.
.
Saya mengajak dia, bukan tanpa alasan. Selain cerdas dan langganan juara kelas, ia juga rajin membaca. Orang seperti dia, tentu banyak yang bisa dituliskan.
.
"Mam, nulis, yok?" Pinta saya ke sekian kalinya. Jarak yang memisahkan tak menjadi aral. Aplikasi chating memendekkan jarak antara kami.
.
"Mau nulis apa memang?" Seperti yang saya duga: jawabannya selalu sama. Masih menyisaratkan kebingungan apa yang harus ditulis.
.
"Ya sembarang. Apa saja yg ada di kepala."
.
"Saya sekarang malah suka gambar-gambar pak," dia menyebut saya dengan pak. "Lagi belajar corel soalnya. Tapi kalau baca, aku suka."
.
"Nah, cocok. Tulis saja apa kesimpulan yang didapat dari hasil bacaanmu."
.
Begitulah. Hingga hari ini, saya belum mampu mengajaknya menuju jalan yang lurus. Jalan para penulis. Sebab memudahkan orang itu bukan perkara mudah.
.
Agar saya lebih rajin menulis lagi, saya ingin menularkan virus rajin ini juga kepada orang lain. Lebih khusus kepada orang-orang sekitar saya. Sebagai langkah awal, saya ajaklah salah seorang murid yang kini jadi kawan saya itu untuk mulai menulis.
.
Saya mengajak dia, bukan tanpa alasan. Selain cerdas dan langganan juara kelas, ia juga rajin membaca. Orang seperti dia, tentu banyak yang bisa dituliskan.
.
"Mam, nulis, yok?" Pinta saya ke sekian kalinya. Jarak yang memisahkan tak menjadi aral. Aplikasi chating memendekkan jarak antara kami.
.
"Mau nulis apa memang?" Seperti yang saya duga: jawabannya selalu sama. Masih menyisaratkan kebingungan apa yang harus ditulis.
.
"Ya sembarang. Apa saja yg ada di kepala."
.
"Saya sekarang malah suka gambar-gambar pak," dia menyebut saya dengan pak. "Lagi belajar corel soalnya. Tapi kalau baca, aku suka."
.
"Nah, cocok. Tulis saja apa kesimpulan yang didapat dari hasil bacaanmu."
.
Begitulah. Hingga hari ini, saya belum mampu mengajaknya menuju jalan yang lurus. Jalan para penulis. Sebab memudahkan orang itu bukan perkara mudah.
Menolak Menjadi Penulis
Reviewed by Cak Dul
on
16:12
Rating:
Reviewed by Cak Dul
on
16:12
Rating:


Tidak ada komentar:
Syukran telah berkunjung. Silahkan beri komentar membangun.